Senin, 26 September 2016

Meniti Menit | Laguku Berkisah

Waktu menunjukkan jam sepuluh malam. Masih banyak waktu untuk kukelilingi Bandung sebelum jadwal kereta esok pagi, jam lima subuh. Jadi ceritanya, dari tadi pagi, tiga orang kawan baikku mengajakku menghabiskan akhir pekan di Bandung, yang barangkali sebagian besar waktunya dihabiskan di jalan dan di parkiran. Tapi, tiga orang itu tadi sore sudah pulang duluan pakai mobil, jadi ya sudah, tidak perlu diceritakan. 

Aku ditinggal di sini bukan karena mereka tidak setia kawan, tapi gara-gara aku yang bilang ingin menemui teman-teman kuliah dan juga bertandang ke rumah nenek di Buah Batu. Lagi pula, aku sudah lama tidak ke Bandung sejak terakhir tinggal di sini untuk berkuliah. Sebenarnya ini juga bukan bahan cerita. Tapi memang entah mengapa karangan liburan yang aku buat waktu SD itu nyata adanya, rasa-rasanya cerita liburan ya kitu-kitu weh, tiap semester ke rumah nenek.

Sebelum balik lagi ke ibu kota, rasanya boleh juga kalau jalan-jalan dulu ke daerah Dago, soalnya kan, waktuku di Bandung kebanyakan dihabiskan di sana untuk urusan kuliah. Belum apa-apa, aku merasa kalau keputusan buat berangkat ke Dago itu cukup menarik. Mengapa aku bilang cukup menarik, jadi begini, aku berhenti di sebuah kedai kopi dan menemui cukup banyak orang-orang yang mirip mahasiswa, sedang sibuk di depan laptop, agaknya mereka mengejar suatu deadline.

Bukan itu yang menarik.

Anjing! Ada Line masuk!

"Lo lagi di Bandung, ya?" Dikirim oleh Hansip. Seorang cewek, temanku dari SMA. Nama aslinya Hani, tapi dipanggil Hansip gara-gara apa juga aku agak lupa. Mungkin gara-gara sudah terlalu banyak nama Hani di angkatanku.

Sebagai insan yang bertanggungjawab atas relasi terhadap sesama manusia, aku segera membalas Line yang masuk tadi.

"Iyaaaa." A-nya diketik empat kali, biar ramah.

"Liat Path ya?" Lanjutku.

"Iyaa." Balasnya.

"Masih di situ?" Balasnya, lagi.

"Masihh." Aku ketik huruf H-nya dua kali, biar tidak jutek. 

"Lagi di tempat yang di Path itu kan? Yaudah, gue nyusul yaa."

Tidak aku read. "Naikin pasaran keles." Kataku dalam hati.

Padahal, sebenarnya, aku melayang sangat tinggi, tinggi, tinggi, tingiiiiiiiii. Ya bagaimana tidak, si Hansip itu kan aslinya mau aku dekati, tapi memang dasar diri ini terlalu banyak berkaca. Aku dulu selalu merasa minder gara-gara penampilanku yang tidak kuperhatikan, rambut begitu-begitu saja tanpa gel dan tanpa undercut ngehe, baju begitu-begitu saja tanpa berkiblat ke akun-akun sejenis hypebeast, ya kasarnya sih bisa dibilang 'gembel.' Jadi, ya bayangkan saja, ketika aku dulu diam-diam mau ke si cewek ini, eh, sekarang dia malah mencariku duluan. Bayangkan saja rasanya seperti apa. Kalian harus merasakan sendiri. Dari pada aku yang jelaskan.

Wah, kalau sampai teman-temanku yang tadi sore tahu kalau aku sedang melayang begini, paling-paling mereka cuma akan meledekku sambil bilang begini, "Yaelah.. Si dongo."

Aku mendengarkan musik lewat earphone selagi menunggu Hansip datang. Aku memang sengaja tidak membalas Line dia tadi dan bertanya posisinya sekarang ada di mana. Toh, kalau dia benar-benar menyusulku, dia akan datang dan aku bisa melihat dia.

Dua lagu nu metal dari dekade 2000-an, dan satu lagu ala-ala Bob Dylan sudah lewat.

Belum datang juga.

Aku mengingat-ingat lagi, si Hansip itu orangnya seperti apa. Sejujurnya, dia bukan tipe yang aku suka sama sekali. Aku pernah mengobrol soal ini sekitar bulan lalu di kos-kosan temanku. Aku bilang kalau aku suka cewek yang seperti berikut :
  1. Bertubuh kecil secara fisik
  2. Memiliki minat atau hobi akan suatu hal, dan didalami. Apa saja. Musik, masak, atau masuk (ke minat dan hobi lain).
  3. Memiliki sesuatu yang membedakan dia dan teman-teman se-geng-nya dan/atau dia dan golongan-golongan 'badai' (ini abstrak, dan biarkan aku yang menentukan apakah orang itu punya perbedaan atau tidak).
Sedangkan, yang aku tahu, Hansip adalah kebalikan dari semua kriteria yang aku sebutkan. Bukan berarti dia jelek dan jahat, sih, namun memang pada kenyataannya dia tidak memenuhi ketiga kriteria yang aku buat sendiri. Hmm.
  1. Hansip tidak kecil, di antara cewek-cewek, dia berbadan sedang, meskipun memang agak kurus.
  2. Ya, aku pernah lihat sih, Hansip pernah tiba-tiba belajar masak dan foto, tapi ya tidak bertahan lama.
  3. Dan aku pikir, tidak ada bedanya dengan cewek-cewek lain, meskipun memang dia cantik dan ada beberapa anak-anak di angkatan lain yang bilang kalau dia adalah 'hidden gem' di sekolah.
Entah mengapa, aku terus menimbang-nimbang kelebihan dan kekurangan Hansip lalu aku cocokkan dengan kriteriaku. Padahal, aku bukan siapa-siapa. Maksudku, apakah aku pantas melakukan itu, walaupun hanya dalam pikiran? Memangnya kenapa kalau dia tidak masuk kriteriaku? Apakah bapak ibunya akan meninggal dan jadi hantu? Ya tidak juga kan.

Kali ini, entah mengapa playlist-ku ter-shuffle ke hip-hop 1990an. 

Sudah jam 12 malam, dan Hansip masih belum datang juga.

"Gimana? Jadi kemari?" Akhirnya aku tidak tahan dan mengirim Line untuknya.

Suara teman-temanku perlahan terngiang, "Yaelah.. Si dongo."

Tapi, ya sudahlah. Sudah kejadian. Mungkin dia lupa. Mungkin dia sibuk. Mungkin dia jalan sama seorang yang aku tidak tahu. Tidak apa-apa untukku. Lagi pula, aku sudah membawa semua barangku. Aku akan menunggu dia di sini sampai aku tidak tahan lagi, lalu aku langsung berangkat ke stasiun dan tidur di sana sampai jadwal kereta tiba.

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar tidak bosan menunggu Hansip datang. Sedari tadi, aku hanya melihat jarum jam tanganku bergerak. Dari jam 12.40 ke jam 12.45. Jarum panjang bergerak dari angka delapan ke angka sembilan. Waktu berjalan selama lima menit. 

Bagiku, lima menit, apalagi lima menit yang baru saja kulalui, adalah manifestasi dari pencapaian yang terlambat dan tidak sempurna. Lima menit adalah alasanku untuk menunda bangun subuh. Lima menit adalah alasanku untuk istirahat dan menunda pengerjaan skripsi. Lima menit adalah alasanku untuk istirahat dan melepaskan pekerjaanku.

Memang, lima menit itu terlihat buruk pada awalnya, namun selalu menyisakan sebuah pencapaian pada akhirnya, bila lima menit itu tidak disambung dengan lima menit berikutnya.

Dan kali ini, aku memilih untuk percaya pada lima menit demi lima menit itu, dan memilih untuk menunggu sebuah 'pencapaian', walau, setidaknya bagiku, tidak sempurna.

Tapi! Cukup dengan filosofi itu. Lima menit sudah kulalui 30 kali. Dua setengah jam. Sudah hampir pukul tiga pagi. Apa yang aku harapkan dari sini? Memangnya Hansip benar-benar mau bertemu? Tahu dari mana kalau dia tidak basa-basi?

Lagi pula, barusan dia mengirim Line untuk apa, sih? Dengan bodohnya, aku tadi langsung kegirangan.  Padahal, waktu sekolah kita cuma kenal nama saja. Pernah sih, mengobrol, tapi sebatas untuk menyapa. Basa-basi. Itu juga cuma di sekolah. Tidak pernah di tempat lain.

Aku membuka earphone-ku dan beranjak dari tempat duduk. Aku mengeluarkan dompet membayar untuk dua kopi yang kubeli, namun satunya tidak diminum karena kopi itu kubelikan untuk Hansip. Baru saja aku mau membayar, tiba-tiba..

Line call! Hansip?

Anjingggg!

"Halo," aku angkat, "Kenapa?"

"Sorry banget ya... Gue baru nyampe. Abis beres gawean, deadline besok. Lo duduk di mana?" Jawabnya

Pada kondisi normal, aku akan marah besar pada Hansip yang terlambat hampir 4 jam. Namun, entah mengapa, saat bicara dengannya, aku tidak bisa marah sama sekali, padahal saat menunggu aku sudah ingin marah dan membayangkan skenario saat aku memarahinya.

"Iya, cari aja di yang deket jendela." Jawabku.

Dia menghampiriku di meja yang sedang dibereskan.

Aku melihat ke kedua bola matanya yang cokelat tua.

Waduh, dia benar-benar datang, ya...

Pantas saja, wajar saja, dulu aku diam-diam suka sama dia,

Situasi.

Memang iya, cewek ini tidak memenuhi satu pun kriteria yang aku suka.

Ternyata, dulu aku meliriknya terus menerus...

Karena, mungkin, aku punya firasat bahwa ia akan membawaku ke situasi semacam ini.

Bukan fisik, bukan kemampuan, bukan kepribadian.

Tapi, situasi, yang membuat orang ini menjadi sebuah pengecualian.

Untuk semua kriteria.

--

"Dia mah emang super baik gitu, ga pernah wacana, fix, lo aja kegeeran." Hati kecil berbisik.
Bodo amat.

--

Laguku Berkisah adalah seri cerita pendek yang terinspirasi dari sebuah lagu. Bukan berdasarkan lirik atau musik, ya karena emang terinspirasi aja. Kalau kamu udah selesai baca ceritanya, coba ulangi lagi membacanya, tapi kali ini sambil dengerin lagu yang ada di bawah ini. Semoga cocok ya. Kalau enggak, ya, maaf. Kamu boleh cari lagu lain kok.

Southern Girl
Incubus